Sejarah Perkembangan PAI

0
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ

  1. Semoga Alloh memberikan balasan surga bagi pendahulu kita yang telah memperjuangkan islam khusunya PAI
  2. Secara umum definisi Pendidikan Agama Islam yaitu mencakup pendidikan islam di pesantren, madrasah dan sekolah
  3. Secara khusus, PAI yaitu pendidikan islam di sekolah non Kemenag

BAB I
PAI ZAMAN PENJAJAHAN (1800-1945): 
Dari Ketiadaan Sampai Penghilangan Dualisme Barat-Pribumi Oleh Jepang

Masa Penjajahan Belanda (1800-1945)
Kebijakan pendidikan kolonial cenderung diskriminatif terhadap ras dan agama.
Pada masa penjajahan Belanda, Pendidikan Agama di Indonesia telah ada dalam masyarakat secara tradisional, tetapi tidak diajarkan di sekolah-sekolah, terutama sekolah negeri, karena pemerintah kolonial bersikap netral terhadap agama. Tanggung jawab pendidikan agama dipercayakan kepada keluarga. Usulan untuk mengajarkan Pendidikan Agama Islam di sekolah selalu ditolak oleh pemerintah kolonial.

Praktik politik pendidikan yang diskriminatif di masa penjajahan mencakup pengenalan sistem pendidikan sekuler oleh penjajah, yang memicu reaksi dan perlawanan dari masyarakat Indonesia karena dianggap mencabut akar budaya bangsa. Meskipun sekolah-sekolah umum secara resmi tidak mengajarkan Pendidikan Agama, dakwah dilakukan secara tidak resmi oleh penyebar agama, terutama di sekolah-sekolah seperti MULO, AMS, dan Kweekschool, meskipun menghadapi resistensi dari guru-guru yang tidak setuju.

Masa Penjajahan Jepang (1942-1945)
Mereka menghapuskan dualisme pendidikan Barat-pribumi dan memberikan lebih banyak perhatian pada pendidikan agama Islam. Pendidikan Islam di sekolah-sekolah umum menjadi lebih penting, terutama di Sumatera. Namun, kebijakan Jepang juga memiliki tujuan politik, mencari simpati dari mayoritas Muslim Indonesia. Pada periode Jepang inilah, awal dari Pendidikan Agama diajarkan di sekolah-sekolah pemerintah meskipun baru dipraktikkan di Sumatera saja, sementara di daerah lain hanya menerapkan Pendidikan Budi Pekerti (PBP)

Setelah masa penjajahan, pada awal abad ke-20 muncul gerakan kultural santri yang mempromosikan pendidikan Islam moderen. Madrasah dan sekolah agama didirikan oleh organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama. Selain sistem pesantren, NU membuka madrasah dengan sistem klasikal dan memasukan pelajaran 20 umum. PUI pimpinan KH. Abdul Halim Majalengka membuat dengan model santi asrama. Al-Jamiatul Washliyah membangun dengan sistem sekolah gubernemen yang mengajarkan pelajaran agama. 
Reaksi terhadap kemoderenan, golongan Muslim membagun lembaga pendidikan Islam moderen, seperti 
  • Sekolah Adabiyah (1909), 
  • Diniyah Putri Padang Panjang (1915), 
  • Sumatra Thawalib (1920), dan 
  • Madrasah di Tebuireng (1929)

BAB II
PAI ZAMAN KEMERDEKAAN SAMPAI NASAKOM (1945-1965): 
Dari Rintisan di Sekolah, Membentuk Kemenag, Sampai Kebijakan Pilihan Bebas

Setelah proklamasi kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, usulan untuk pembentukan Kementerian Agama diajukan oleh KNIP pada tanggal 11 November 1945. Usulan tersebut disetujui dalam sidang pleno KNIP pada tanggal 25-27 November 1945, di mana kemudian Presiden Soekarno mengeluarkan penetapan untuk membentuk Kementerian Agama pada tanggal 3 Januari 1946.

Menteri Agama pertama kali dijabat oleh Haji Mohammad Rasjidi, yang kemudian mengeluarkan maklumat pada tanggal 23 April 1946 yang menetapkan struktur organisasi kementerian tersebut. Salah satu aspek penting dari tugas Kementerian Agama adalah mengatur pendidikan agama di sekolah-sekolah negeri, yang mencakup pemilihan guru, pengawasan kurikulum, dan pengelolaan lembaga pendidikan agama seperti madrasah.

Pada awalnya, Kementerian Agama fokus pada pendidikan agama Islam, tetapi dengan berjalannya waktu, tugas-tugas keagamaan yang sebelumnya tersebar di berbagai kementerian diambil alih dan ditangani oleh Kementerian Agama. Struktur organisasi Kementerian Agama mengalami beberapa perubahan seiring dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat.

Di tengah periode revolusi, pendidikan agama menjadi bagian dari perdebatan dalam pembentukan undang-undang dasar pengajaran. Komisi Pendidikan mengakomodasi aspirasi golongan Islam dengan menyepakati bahwa pendidikan agama menjadi bagian dari kurikulum pendidikan nasional, meskipun bersifat pilihan dan tidak menentukan kenaikan kelas.

Pada tahun 1947, Majelis Pertimbangan Pengajaran Agama dibentuk untuk mengatur pelaksanaan dan materi pengajaran agama di sekolah umum. Kongres Pendidikan Indonesia yang diselenggarakan pada tahun 1947 dan 1949 juga menjadi forum penting dalam mengkritisi kebijakan pendidikan dan menghasilkan bahan untuk penyusunan undang-undang pendidikan dan pengajaran. Undang-undang pokok pendidikan dan pengajaran akhirnya disetujui oleh BPKNIP.

Istilah Pengajaran Agama, Pelajaran Agama dan Pendidikan Agama 

Pada masa pemerintahan kolonial Belanda, istilah "pengajaran agama" sering digunakan. Hal ini juga berlanjut pada awal kemerdekaan, seperti yang disampaikan oleh Menteri PPK pada kabinet pertama, Ki Hadjar Dewantoro, yang menyatakan perlunya pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri.

Setelah berdirinya Kementerian Agama pada tahun 1946, istilah "pelajaran agama" dan "pendidikan agama" mulai digunakan dalam dokumen resmi. Misalnya, dalam keputusan Menteri Agama No. 1185/KJ tertanggal 20 November 1946, terdapat istilah "pelajaran agama" dan "pendidikan agama". Begitu pula dalam keputusan bersama antara Menteri Agama dan Menteri PPK No. 1142/Bh.A dan 1285/K.J yang menetapkan adanya pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri.

Selanjutnya, istilah "pendidikan agama" terus digunakan dalam undang-undang dan peraturan perundangan lainnya, termasuk dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 1989 dan 2003. Secara konsisten, istilah ini tetap dipertahankan dalam dokumen-dokumen resmi terkait pendidikan agama di Indonesia.

Kepala Jawatan Agama Sumatera Barat, Nasruddin Thaha tahun 1950 menganjurkan agar SMP Islam didirikan di setiap kabupaten di seluruh Minangkabau. Maka berdirilah SMP Islam tersebut dibbeberapa daerah

Rencana Pengajaran Agama Islam Tingkat Nasional 

Ketika Kementerian Agama dipimpin oleh K.H. Fathur Rahman, diatur melalui surat penetapan bersama dengan Menteri Pengajaran, Pendidikan, dan Kebudayaan dinyatakan bahwa Pendidikan Agama hanya diberikan mulai dari kelas IV Sekolah Rakyat (SR). Namun, di daerah Sumatera, Pendidikan Agama Islam sudah diajarkan mulai dari kelas I hingga kelas VI SR sejak sebelum Indonesia merdeka. Pendidikan Agama Islam (PAI) pada masa itu dilaksanakan sesuai dengan rencana masing-masing daerah dan belum tersentralisasi seperti saat ini.

Rencana pengajaran agama Islam di Sekolah Rakyat (SR) di Provinsi Sumatera pada tahun 1947 dapat dijelaskan sebagai berikut:

Kelas 1:
Durasi: 2 jam pelajaran
Materi: Keimanan-akhlak dan ibadat
Tujuan: Menanamkan perasaan keimanan keagamaan pada anak-anak
Contoh Materi: Cerita-cerita tentang orang shaleh, kegiatan ibadah

Kelas 2:
Durasi: 2 jam pelajaran
Materi: Keimanan-akhlak dan ibadat
Perluasan Materi: Cerita tentang pahlawan, orang budiman, dan pengertian ibadah

Kelas 3:
Durasi: 2 jam pelajaran
Materi: Keimanan-akhlak dan ibadat-Al-Qur’an
Perluasan Materi: Cerita tentang peperangan zaman nabi, adab di berbagai tempat, pengetahuan tentang Al-Qur'an

Kelas 4:
Durasi: 2 jam pelajaran
Materi: Keimanan-akhlak dan ibadah-Al-Qur’an
Perluasan Materi: Pengertian tentang Tuhan, kewajiban kepada Tuhan, ibadah, dan pengetahuan tentang Al-Qur'an

Kelas 5:
Durasi: 2 jam pelajaran
Materi: Keimanan-akhlak dan ibadah-Al-Qur’an
Perluasan Materi: Pengertian tentang Allah, malaikat, kiamat, perang, serta pengetahuan tentang Al-Qur'an

Kelas 6:
Durasi: 2 jam pelajaran
Materi: Keimanan-akhlak dan ibadah-Al-Qur’an
Perluasan Materi: Pengertian takut kepada Allah, nasehat yang baik, sejarah agama Islam, dan pengetahuan tentang Al-Qur'an

Pada setiap tingkatan, pengajaran agama Islam berfokus pada pengembangan keimanan, akhlak, dan pemahaman tentang ibadah sesuai dengan tingkat pemahaman dan usia siswa. Materi diajarkan dengan menggunakan cerita-cerita, contoh-contoh, serta pengajaran langsung yang sederhana agar mudah dipahami oleh siswa.

UU Sisdiknas 1950 dan Pendidikan Agama

Undang-Undang Pendidikan dan Pengajaran (UUPP) No. 4 tahun 1950, yang dikeluarkan pada tanggal 4 April 1950 di Yogyakarta, menjadi landasan penting dalam pembentukan sistem pendidikan nasional di Indonesia pada masa itu. Selama proses penyusunannya, terjadi perdebatan yang sengit terutama terkait dengan masalah pendidikan masyarakat dan Pendidikan Agama. Selain itu, sistem pendidikan agama masih belum sepenuhnya terintegrasi dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan Agama di sekolah-sekolah negeri dilaksanakan dengan cara yang longgar, sedangkan di sekolah-sekolah swasta, pelaksanaannya bervariasi.

Pasal-pasal yang berkaitan dengan Pendidikan Agama dalam UUPP No. 4 tahun 1950 adalah sebagai berikut:
1. Pasal 20 ayat (1): "Dalam sekolah-sekolah negeri diadakan pelajaran agama, orang tua murid menetapkan apakah anak-anak akan mengikuti pelajaran tersebut."
2. Pasal 20 ayat (2): "Cara menyelenggarakan pengajaran agama di sekolah-sekolah negeri diatur dalam peraturan yang ditetapkan oleh Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan bersama-sama dengan Menteri Agama."

Pendirian Lembaga Pendidikan Guru Agama

Kebutuhan akan guru agama Islam juga semakin meningkat. Hal ini disebabkan oleh adanya keharusan formal untuk mengajarkan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah negeri. Untuk mengatasi kebutuhan tersebut, didirikanlah madrasah Pendidikan Guru Agama (PGA) dan Pendidikan Hakim Islam Negeri (PHIN).

Berawal dari program Depag yang membuka dua lembaga pendidikan dan madrasah: Sekolah Guru Agama Islam (SGAI) dan Sekolah Guru Hakim Agama Islam (SGHAI). SGAI memiliki dua jenjang: jangka panjang selama 5 tahun dan jangka pendek selama 2 tahun. SGHAI memiliki empat bagian, yang mencetak guru agama, ilmu pasti, kesusastraan, dan hukum agama.

Pada tahun 1951, atas Ketetapan Menteri Agama tanggal 15 Februari 1951, SGAI berubah menjadi PGA (Pendidikan Guru Agama) dan SGHAI menjadi SGHA (Sekolah Guru Hakim Agama). 
Pendidikan PGA selama dua tahun bagi lulusan SMP dan Madrasah Tsanawiyah. Dengan demikian, lembaga-lembaga seperti PGA dan PHIN berperan penting dalam mempersiapkan guru-guru agama Islam untuk memenuhi kebutuhan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum di Indonesia.

BAB III
PAI ZAMAN ORDE BARU (1966-1998): 
Sebuah Keharusan, tetapi Tunduk pada Doktrin Demokrasi Pancasila

Meskipun Orde Baru awalnya didukung oleh umat Islam karena perannya dalam de-komunisasi dan dukungannya terhadap Pendidikan Agama, sikap curiga dan hati-hati terhadap aspirasi Islam menyebabkan ketegangan antara rezim Orde Baru dan kalangan Muslim. Larangan penggunaan jilbab di sejumlah sekolah negeri pada tahun 1988 menjadi salah satu contoh ketegangan tersebut.

Namun, Orde Baru juga mengambil langkah-langkah akomodatif terhadap aspirasi umat Islam, seperti melakukan moderenisasi Pendidikan Agama dan madrasah, serta menempatkan iman dan takwa sebagai bagian dari tujuan pendidikan nasional dalam UU No. 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Hal ini menunjukkan adanya upaya Orde Baru untuk menyesuaikan diri dengan aspirasi umat Islam sambil tetap menjaga stabilitas politik dan keberadaan Pancasila sebagai dasar negara.

TAP MPRS No. XXVII/MPRS 1966 & Kurikulum 1975: Menetapkan Pendidikan Agama sebagai mata pelajaran wajib dari SD hingga PTUN di Indonesia.

TAP MPR-RI No. IV/MPR 1973 & Kurikulum 1984: Pendidikan Agama dimasukkan ke dalam program pendidikan inti di SMA bersama dengan mata pelajaran lainnya.
Menjelang dan pasca lahirnya kurikulum 1984, terdapat sejumlah peraturan yang dikeluarkan oleh pemerintah “bulan puasa sebagai waktu belajar” dan larangan bagi siswi-siswi menggunakan jilbab ke sekolah. Keputusan yang dikeluarkan melalui SK Menteri P & K No. 0211/U/1978 itu menimbulkan kontroversi, karena sebelum itu, bulan puasa adalah libur sebulan penuh 

UU Pendidikan No. 2 Tahun 1989: Menetapkan Pendidikan Agama sebagai hak setiap siswa sesuai dengan agama yang dianutnya, tanpa membedakan antara sekolah negeri dan swasta.

PP No. 29/1990 tentang Pendidikan Menengah: Mengatur bahwa siswa mempunyai hak memperoleh Pendidikan Agama sesuai dengan agama yang dianutnya, dengan sekolah yang memiliki kekhususan atas dasar agama tidak berkewajiban menyelenggarakan Pendidikan Agama lainnya.

Pada Kurikulum 1994, Pendidikan Agama tetap menjadi mata pelajaran wajib di semua jenjang pendidikan, mulai dari SD hingga Perguruan Tinggi. Struktur kurikulumnya mirip di setiap tingkatan, di mana Pendidikan Agama masuk dalam kelompok program pendidikan umum. Meskipun ada perubahan, jumlah jam pelajaran dan karakter Pendidikan Agama siswa tetap terkendali oleh prinsip Demokrasi Pancasila. 

Setelah rezim Orde Baru runtuh pada 1998, Pendidikan Agama Islam mengalami dinamika signifikan selama masa reformasi.

BAB IV
PAI ZAMAN REFORMASI (1998-2015) 
Dari Debat UU Sisdiknas sampai Menciptakan Religious Culture di Sekolah

Zaman Habibie (1998-1999): Krisis ekonomi dan demonstrasi menyebabkan mundurnya Soeharto. Prestasi Habibie termasuk kebebasan pers dan pemilu multipartai.
Zaman Abdurrahman Wahid (1999-2001): memimpin dengan kebijakan kontroversial dan ketidakstabilan ekonomi. Reformasi militer dan penyelesaian konflik di Aceh adalah pencapaian utama.
Zaman Megawati (2001-2004): Megawati mengakhiri kerjasama dengan IMF dan memperkuat demokrasi di daerah.
Zaman Pasca-Megawati: SBY memperkuat stabilitas politik dan demokratisasi. Jokowi menjadi presiden setelah pemilu 2014.

Pada era Reformasi, terjadi peningkatan kekuatan kaum elit Muslim dalam pemerintahan, yang memengaruhi kebijakan Islam yang lebih akomodatif. Salah satu hasil kebijakan ini adalah lahirnya Undang-Undang (UU) No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. UU ini menggantikan UU No. 2 Tahun 1989 dan menegaskan pendidikan agama sebagai fondasi nilai dasar dalam kerangka pendidikan nasional.

Proses pengesahan UU Sisdiknas 2003 menuai kontroversi yang sengit, dengan demonstrasi baik mendukung maupun menolak RUU tersebut. Isu utama dalam kontroversi adalah hak peserta didik untuk mendapatkan pendidikan agama sesuai agamanya. Akhirnya, UU tersebut disahkan meskipun kontroversi berlanjut.

UU Sisdiknas memberikan posisi strategis pada pendidikan agama dalam struktur kurikulum nasional. Selain itu, penempatan agama sebagai nilai dasar dalam UU ini menegaskan pentingnya peran agama dalam sistem pendidikan nasional.

Kemudian, peraturan turunan dari UU Sisdiknas, yaitu Peraturan Pemerintah (PP) No. 55 tahun 2007 tentang Pengelolaan Pendidikan Agama, menguatkan posisi Pendidikan Agama Islam (PAI) di sekolah. PAI dianggap strategis dalam mendukung pembangunan nasional dan pembentukan karakter siswa.

Meskipun demikian, pelaksanaan PAI di sekolah belum mencapai hasil yang memuaskan dalam mencapai tujuan pendidikan Islam. Kurangnya perencanaan kebijakan yang komprehensif dan respon hanya pada tataran permukaan menjadi tantangan yang harus diatasi untuk meningkatkan kinerja pendidikan agama di sekolah.

Penutup:
Semoga Alloh menjadikan kita sebagai Guru PAI yang bisa melanjutkan perjuangan Rasulullah, sahabat, dan para pendahulu GPAI 

[Download] PAI Dalam Lintasan Sejarah

Sumber:
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DALAM LINTASAN SEJARAH
Imam Tolhah | Sumanto| M. Nuruddin| Husein
Cetakan Pertama: Juni 2016
Penerbit:
Direktorat Jenderal Pendidikan Islam
Kementerian Agama Republik Indonesia
Jl. Lapangan Banteng Barat No. 3-4 Jakarta 10710

Tags

Post a Comment

0Comments
Post a Comment (0)

#buttons=(Accept !) #days=(20)

Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !
To Top